Peringatan Hardiknas dan Masa Depan Pendidikan Islam
Oleh:
K. H. Irfan Hielmy (Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Ciamis Jawa Barat)
MUKADIMAH
Pada bulan Mei ini bangsa Indonesia memperingati sekaligus dua
peristiwa dan momentum yang amat penting dan strategis. Yang pertama adalah
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), yang diperingati setiap tanggal 2 Mei,
yang juga merupakan hari kelahiran Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara (2 Mei
1889). Ynag kedua adalah Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), yang
diperingati setiap tanggal 20 Mei, yang merujuk pada hari kelahiran Bidi Oetomo
(20 Mei 1908), meski sesungguhnya organisasi pergerakan nasional pertama yang
berdiri adalah Sarekat Dagang Islam (SDI) yang lahir pada tanggal 16 Oktober
1905.
Terlepas dari organisasi pergerakan nasional pertama yang harus
diakui sebagai rujukan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, yang jelas
“pendidikan” dan “kebangkitan” memiliki kaitan yang erat. “Pendidikan” dan
“kebangkitan” suatu masyarakat atau bangsa dalah dua komponen yang tidak saja
penting dan strategis, melainkan juga saling terkait. “Kebangkitan” atau
kemajuan suatu masyarakat akan sul;it dicapai bila komponen pendidikan
diabaikan. Sebaliknya, pendidikan akan semakin kondusif bila masyarakat atau
bangsa mencapai tahap kemajuan yang berarti, terutama di bidang teknologi dan
ekonomi.
Dalam rangka memperingati Hardiknas dan Harkitnas ini, bangsa
Indonesia mesti harus terus-menerus berusaha untuk selalu memperbaiki kualitas
pendidikannya, baik system, implementasi maupun outputnya. Dengan penuh kesadaran kita, harus mengakui bahwa system
dan implementasinya masih perlu terus diperbaiki dan disempurnakan, sehingga output pendidikan kita dapat menghasilkan manusisa yang
berkualitas, baik kualitas iptek-nya maupun kualitas imtak-nya.
Khusus mengenai pendidikan Islam, agaknya upaya serius dan
sistematis untuk mengembangkannya menjadi suatu keharusan, mengingat pendidikan
Islam di Negara kita masih relative “tertinggal” oleh “pendidikan umum”.
Pendidikan Islam yang merupakan bagian dari pendidikan nasional masih
menghadapi berbagai kendala dalam mewujudkan tujuannya, yakni membangun insane
yang berilmu, bertakwa, menguasai teknologi, dan mengimplementasikan ilmu
pengetahuannya untuk kemaslahatan kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat.
Tulisan ini mencoba membahas masa depan pendidikan Islam, terutama
sekali dihubungkan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang ditengarai mengidap
krisis moral yang berakibat pada munculnya krisis-krisis yang lain, yang biasa
disebut dengan krisis multidimensional.
Pendidikan tentang masa depan pendidikan Islam tidak akan pernah
bisa dilepaskan dengan prediksi tentang kondisi, situasi, setting social, dan
terutama problem-problem yang diperkirakan akan dihadapi oleh masyarakat masa
depan. Dalam memandang masa depan Islam, sebagian pakar ada yang bersikap
optimis, dan sebagian lagi ada yang bersikap psimistis.
Bagi mereka yang bersikap psimistis, terutama dilatarbelakangi oleh
kenyataan bahwa masa kini dan masa mendatang, dunia ilmu pengetahuan selalu
didominasi oleh ilmu-ilmu eksak yang menghasilkan teknologi modern, sehingga
mereka meyakini bahwa ilmu-ilmu lain dengan sendirinya akan tersingkir.
Sedangkan bagi mereka yang bersikap optimis, termasuk penulis sendiri, terutama
didasari oleh tiga alasan utama, Pertama, adanya krisis moralitas
manusia kini dan masa mendatang; kedua, akibat modernitas manusia
semakin sering dihadapkan dengan jenis-jenis penyakit (terutama penyakit
mental) yang serius, seperti kejenuhan, stress, terasing (alienated), gangguan jiwa dan lain-lain; dan ketiga, tuntutan dan
tanggung jawab dakwah Islam yang akan semakin besar, baik masa kini maupun masa
yang akan datang.
Krisis Etika dan Moralitas
Sebuah buku “ An Agenda for the Twentieth Century”
yang diedit oleh Rushwoth Kidder (1987), menyebutkan 6 masalah besar yang
tampaknya akan menjadi agenda ummat manusia pada abad 21 ini. Enam agenda
tersebut adalah maslah moralitas atau akhlak, ancaman anihilisme nuklir, bahaya
overpopulasi, degradasi ekolugi
global, kesenjangan utara-selatan, dan masalah restrukturisasi system
pendidikan. Masalah penyalahgunaan obat dan minuman keras, prostitusi yang
semakin massif, hilangnya rasa solidaritas dan kepeduliaan antar sesame,
kekerasan dan kekejaman, penyalahgunaan wewenang, ketidakjujuran dan lain
sebagainya adalah di antara problem-problem moralitas serius yang akan dihadapi
oleh manusia.
Itulah sebabnya, Shuirchi Kato, tokoh pendidikan Jepang pernah
mengatakan: “Most People are not very
much concerned, seriously, with other people’s suffering. By and large it seems
to me that the whole of society is geared to domination and manipulation
–rather than compassion.” Manusia menjadi semakin egois, tak acuh, abai,
individualistis, dan tidak pernah peduli terhadap penderitaan masyarakat. Kondisi-kondisi
manusia seperti yang disebutkan Shuirchi Kato itulah yang agaknya menggambarkan
mentalitas dan moralitas masyarakat modern, termasuk di dalamnya sebagian
masyarakat Indonesia.
Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang tidak terlalu jauh dari
gambaran Suirchi Kato itulah, peran dan
fungsi pendidikan Islam menjadi amat dibutuhkan. SEbab pendidikan Islam,
peratama-tama harus berkonsentrasi pada upaya mendidi manusia agar memiliki
etika dan moralitas adiluhung, yaitu
moralitas dan etika yang dibangun dan sumber yang adiluhung (Al-Qura’an dan As-Sunnah).
Dengan menggunakan gagasan dan pemikiran Sa’id Hawwa dalam kitabnya “Tarbiyatunar-Ruhiyah”, pendidikan
harus mampu menanamkan pengertian-pengertian mendalam tentang Islam, iman,
ihsan dan takwa. Menurut Sa’id Hawwa, Islam adalah sebuah system universal yang
sempurna, meliputi seluruh persoalan hidup manusia. Di dalamnya terdapat
akidah, ibadah, dan syari’ah; ketiganya menjadi landasan penguat Islam. Ia
adalah jawaban universal untuk seluruh permasalahan duniawi dan akhirat yang
mencakup semua masa dan tempat.
Selain makna itu, Islam juga berarti penyerahan diri (jiwa dan raga)
dan perbuatan kepada Allah SWT. Seseorang yang telah menyerahkan hati dan
anggota badan dalam semua “taklif”, yang telah dibebankan
kepadanya, berarti dia seorang muslim yang sebenarnya. Dengan menyerahkan diri
secara total itu, berarti dia memiliki keimanan yang sempurna. Sebab keimanan
yang sempurna tiada lain adalah keyakinan dan ketundukan kalbu berikut amal
nyata yang dilakukan oleh anggota tubuh sebagai manifestasi dari keyakinannya
itu.
Puncak keimanan begitu menurut Hawwa, adalah kemampuan seseorang
merasakan sifat-sifat dan perbuatan (af’al) Allah. Puncak keimanan
berarti bersemayamnya iman dalam hati seseorang. Inilah yang disebut ihsan,
sebagaimana yang didefinisikan Rasulullah saw, yakni: “Hendaklah kamu menyembah Allah
seakan-akan kamu (dapat) melihatnya, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya,
maka sesungguhnya Allah melihatmu” (H.R. Muslim).
Hasil interaksi antara Islam, iman, dan ihsan yang menurut Sa’id
Hawwa kemudian mewujud menjadi takwa. Dengan kata lain, takwa merupakan kondisi
di mana antara kalbu, pikiran dan anggota badan berinteraksi secara harmonis,
yang hanya mungkin dicapai oleh orang-orang yang berserah diri, beramal dan
berbuat baik.
Pendidikan yang berhasil menanamkan pengertian-pengertian mendalam
tentang Islam, iman, ihsan, dan takwa inilah yang akan mampu mengembalikan
fitrah manusia, sehingga ia terbebas dasi sifat-sifat yang egois, tak acuh,
abai, individualistis, dan tidak pernah peduli terhadap penderitaan masyarakat.
Kejenuhan Sosial Psikologis
Selain krisis etika dan moralitas, kecenderungan materialistic juga
mulai menghinggapi masyarakat kita, teruitama sekali dapat kita lihat pada
pola-pola hubungan manusia yang hanya didasarkan pada keuntungan-keuntungan
yang bersifat materi.
Kecenderungan materialistic
ini pada akhirnya mengantarkan masyarakat kita menjadi konsumen utama dan
produk-produk modern, dan terbentuklah masyarakat konsumerisme yang boros
dan produktif. Akibatnya, mereka
terbius dan terbuai oleh berbagai kenikmatan dan kelezatan modernitas (hedonisme)
dan memandang sesuatu hanya berdasarkan pada nilai kegunaan (utilitarianisme).
Ketika masyarakat tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
yang bersifat materi, manusia dapat kehilangan kendali, sehingga muncul
penyakit psiko-sosial seperti stress, terasing, gila, dan lain sebagainya. Pun, ketiaka manusia semakin merasa
jenuh dengan segalas sesuatu yang bersifat materialistik, kondisi dan dapat
melahirkan perasaan jenuh, bosan dan perasaan kerunduan yang luar biasa atas
sesuatu yang non materi.
Problem kemanusiaan ini, sesungguhnya sejak awal telah diantisipasi
oleh Islam, sekaligus menawarkan solusi secara mendasar dan menyeluruh. Islam
memiliki pandangan yang utuh terhadap manusia. Manusia bukanlah makhluk
“materi” semata, melainkan juga makhluk yang terdiri dari fisik-materi,
memiliki ruuh, memiliki hati, akal budi, dan jiwa.
Oleh karena itu, mendidik manusia tidak cukup hanya dengan
mengembangkan sisi materinya saja, melainkan juga harus mampu mengembangkan
potensi-potensi ruhaniah, yang mencakup, akal budi, jiwa, dan hatinya. Dalam
pengertian yang lain, pendidikan harus mengembangkan manusia dengan segala keutuhannya
(human
being as a whole). Pendidikan tidak cukup hanya mengembangkan kualitas
akal semata, melainkan juga mengembangkan kualitas segenap daya yang ada dalam
diri manusia, yaitu kualitas akal, kualitas kalbu, kualitas akal budi, kualitas
jiwa, dan kualitas nafsu.
Pendidikan dan Dakwah Islamiyah
Sebagai sebuah doktrin, umat Islam selalu dituntut untuk selalu
menggelorakan dan mengaktualisasikan dakwah Islamiyah. Tuntutan dan tanggung
jawab pelaksanaan dakwah Islamiyah ini tidak akan pernah berhenti berkobar di
kalangan umat Islam. Dan pendidikan Islam adalah salah satu bentuk pelaksanaan
dan aktualisasi Dakwah Islam, sekaligus sebagai bagian dari jihad di jalan
Allah.
Dakwah Islamiyah di masa kini dan lebih-lebih masa yang akan datang
akan selalu bergelora dan semarak. Karena dakwah Islamiyah tidak hanya
dimaksudkan untuk menyebarkan kebenaran-kebenaran Illahi, tetapi juga sebagai
salah satu wujud dari kaidah dasar “memelihara agama”. Demi memelihara agama,
seorang muslim harus rela mengorbankan
jiwa dan nyawanya. Ia harus rela mati
demi untuk memperjuangkan kebernaran agamanya. Karena mati demi
memperjuangkan agama berarti jihad di jalan Allah (al-jihad fi sabilillah).
Mereka yang berjihad di jalan Allah itulah yang kelak akan memperoleh derajat
tinggi di sisi Tuhannya. “Orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan
diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah
orang-orang yang mendapat kemenangan” (Q.S. At-Taubah:20).
Mereka itu pulalah yang akan memperoleh petunjuk tentang jalan-jalan
yang benar. “Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik” (Q.S. Al-‘Ankabut:69).
Sadar bahwa prolematika kemanusiaan yang bakal dihadapi oleh umat
manusia di masa mendatang begitu banyak dan komplek, maka pelaksanaan dakwah
Islamiyah dituntut semakin efektif, efisien, dan terukur. Dan salah satu bentuk
dakwah Islam yang paling efektif. efisien dan terukur adalah proses pengajaran
dan pendidikan keagamaan, terutama kepada anak-anak didik.
Dari perspektif tersebut, praktisi pendidikan Islam harus menyadari
bahwa aktivitas pendidikan tiada lain merupakan aktivitas ibadah dalam rangka
menjalankan kewajiban agama. Sebagai bgian dari aktivitas ibadah, maka kualitas
penyelenggaraan pendidiakn juga akan menentukan kualitas ibadah kita kepada
Allah SWT.
Masa Depan Pendidikan Islam
Dengan tiga momentum strategis itulah, pendidikan Islam tampaknya
memiliki makna dan arti yang amat strategis. Makna strategis pendidikan Islam
ini berawal dari keyakinan bahwa Islam merupakan tata moral dan spiritual
universal yang disempurnakan dan satu-satunya alternative dan menjadi solusi
akhir. Krisis moral, penyakit-penyakit psiko-sosial yang secara serius akan
dihadapi ummat manusia di masa mendatang, tampaknya hanya dapat dipecahkan
melalui pelaksanaan pendidikan Islam yang efektif, efisien dan berkelanjutan.
Sebab, ajaran Islam tidak hanya menawarkan berbagai aturan formal ritus keberagamaan, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai (values
loaded) nan luhur yang
pasti amat sesuai dengan kebutuhan ummat manusia.
Kita berkewajiban dan menanggung beban tanggung jawab social dan bahkan
misi universal untuk memperbaiki akhlak, memerangi kejahatan dan berusaha
merebut kemenangan demi ummat manusia, demi keadilan dan kebaikan. Lebih-lebih
kita juga menyadari bahwa masyarakat muslim cukup kaya dengan peradaban,
kreatifitas intelektual, kemuliaan akhlak, tradisi ilmiah dan artistic,
keharmonisan, dan kemenangan. Kebudayaan Islam penuh dengan sumber-sumber
moral, spiritual, idealistic, paemberi kehidupan, pelahir-gerakan konstruktif
dan memberi penerangan. Islam adalah samudera yang mengandung
gelombang-gelombang dahsyatnya kekuatan yang logis, estetik dan sentimental
yang memberikan sumbangan kepada kesucian jiwa dan kesempurnaan moralitas serta
kepekaan insane. Pendeknya, peradaan Islam memberikan kepada manusia kesdaran
diri, kemandirian, kepribadian, kemurah-hatian dan daya insani (human power).
Dengan kepercayaan bahwa Islam adalah keyakinan yang memuat
kebenaran-kebenaran tak terabantahkan, maka peradaban Islam pada intinya bersumber dari kebenaran-kebenaran itu,
terutama menjadikan tauhid beserta nilai-nilai strategisnya sebagai titik
sentral semua aktifitas. Dengan menjadikan tauhid sebagai sentral aktifitas,
maka segala aktifitas manusia, termasuk aktifitas pendidikan, selalu merujuk
dan berpusat pada doktrin tauhid tersebut.
Keagungan ajaran Islam beserta warisan dari khazanah intelektual dan
khazanah peradaban muslim itulah yang mesti harus ditanamkan dan
diinternalisasikan kepada ummat manusia, terutama anak didik kita, sehingga
berbagai problem kemanusiaan di masa kini dan masa mendatang dapat dipecahkan.
Upaya penanaman dan internalisasi nilai-nilai ajaran Islam beserta khazanahnya
itu hanya mungkin dilakukan bila pendidikan Islam tetap eksis, berkembang dan
maju.
Menyadari betapa pentingnya pendidikan Islam, baik secara institusional
maupun fungsional, maka perjuangan dan usaha-usaha untuk memajukan pendidikan
Islam menjadi tugas suci kita semua, terutama para praktisi pendidikan Islam.
Ranah Indah Nyiur Melambai,
Darussalam 2002
(Disadur dari
Media Pembinaan No. 02/XXIX Mei 2002)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda