Senin, 16 Februari 2015

Peringatan Hardiknas dan Masa Depan Pendidikan Islam

Oleh: K. H. Irfan Hielmy (Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Ciamis Jawa Barat)

MUKADIMAH
Pada bulan Mei ini bangsa Indonesia memperingati sekaligus dua peristiwa dan momentum yang amat penting dan strategis. Yang pertama adalah Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, yang juga merupakan hari kelahiran Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889). Ynag kedua adalah Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), yang diperingati setiap tanggal 20 Mei, yang merujuk pada hari kelahiran Bidi Oetomo (20 Mei 1908), meski sesungguhnya organisasi pergerakan nasional pertama yang berdiri adalah Sarekat Dagang Islam (SDI) yang lahir pada tanggal 16 Oktober 1905.
Terlepas dari organisasi pergerakan nasional pertama yang harus diakui sebagai rujukan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, yang jelas “pendidikan” dan “kebangkitan” memiliki kaitan yang erat. “Pendidikan” dan “kebangkitan” suatu masyarakat atau bangsa dalah dua komponen yang tidak saja penting dan strategis, melainkan juga saling terkait. “Kebangkitan” atau kemajuan suatu masyarakat akan sul;it dicapai bila komponen pendidikan diabaikan. Sebaliknya, pendidikan akan semakin kondusif bila masyarakat atau bangsa mencapai tahap kemajuan yang berarti, terutama di bidang teknologi dan ekonomi.
Dalam rangka memperingati Hardiknas dan Harkitnas ini, bangsa Indonesia mesti harus terus-menerus berusaha untuk selalu memperbaiki kualitas pendidikannya, baik system, implementasi maupun outputnya. Dengan penuh kesadaran kita, harus mengakui bahwa system dan implementasinya masih perlu terus diperbaiki dan disempurnakan, sehingga output pendidikan  kita dapat menghasilkan manusisa yang berkualitas, baik kualitas iptek-nya maupun kualitas imtak-nya.
Khusus mengenai pendidikan Islam, agaknya upaya serius dan sistematis untuk mengembangkannya menjadi suatu keharusan, mengingat pendidikan Islam di Negara kita masih relative “tertinggal” oleh “pendidikan umum”. Pendidikan Islam yang merupakan bagian dari pendidikan nasional masih menghadapi berbagai kendala dalam mewujudkan tujuannya, yakni membangun insane yang berilmu, bertakwa, menguasai teknologi, dan mengimplementasikan ilmu pengetahuannya untuk kemaslahatan kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat.
Tulisan ini mencoba membahas masa depan pendidikan Islam, terutama sekali dihubungkan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang ditengarai mengidap krisis moral yang berakibat pada munculnya krisis-krisis yang lain, yang biasa disebut dengan krisis multidimensional.
Pendidikan tentang masa depan pendidikan Islam tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan prediksi tentang kondisi, situasi, setting social, dan terutama problem-problem yang diperkirakan akan dihadapi oleh masyarakat masa depan. Dalam memandang masa depan Islam, sebagian pakar ada yang bersikap optimis, dan sebagian lagi ada yang bersikap psimistis.
Bagi mereka yang bersikap psimistis, terutama dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa masa kini dan masa mendatang, dunia ilmu pengetahuan selalu didominasi oleh ilmu-ilmu eksak yang menghasilkan teknologi modern, sehingga mereka meyakini bahwa ilmu-ilmu lain dengan sendirinya akan tersingkir. Sedangkan bagi mereka yang bersikap optimis, termasuk penulis sendiri, terutama didasari oleh tiga alasan utama, Pertama, adanya krisis moralitas manusia kini dan masa mendatang; kedua, akibat modernitas manusia semakin sering dihadapkan dengan jenis-jenis penyakit (terutama penyakit mental) yang serius, seperti kejenuhan, stress, terasing (alienated), gangguan jiwa dan lain-lain; dan ketiga, tuntutan dan tanggung jawab dakwah Islam yang akan semakin besar, baik masa kini maupun masa yang akan datang.

Krisis Etika dan Moralitas
Sebuah buku “ An Agenda for the Twentieth Century” yang diedit oleh Rushwoth Kidder (1987), menyebutkan 6 masalah besar yang tampaknya akan menjadi agenda ummat manusia pada abad 21 ini. Enam agenda tersebut adalah maslah moralitas atau akhlak, ancaman anihilisme nuklir, bahaya overpopulasi, degradasi ekolugi global, kesenjangan utara-selatan, dan masalah restrukturisasi system pendidikan. Masalah penyalahgunaan obat dan minuman keras, prostitusi yang semakin massif, hilangnya rasa solidaritas dan kepeduliaan antar sesame, kekerasan dan kekejaman, penyalahgunaan wewenang, ketidakjujuran dan lain sebagainya adalah di antara problem-problem moralitas serius yang akan dihadapi oleh manusia.
Itulah sebabnya, Shuirchi Kato, tokoh pendidikan Jepang pernah mengatakan: “Most People are not very much concerned, seriously, with other people’s suffering. By and large it seems to me that the whole of society is geared to domination and manipulation –rather than compassion.” Manusia menjadi semakin egois, tak acuh, abai, individualistis, dan tidak pernah peduli terhadap penderitaan masyarakat. Kondisi-kondisi manusia seperti yang disebutkan Shuirchi Kato itulah yang agaknya menggambarkan mentalitas dan moralitas masyarakat modern, termasuk di dalamnya sebagian masyarakat Indonesia.
Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang tidak terlalu jauh dari gambaran Suirchi Kato  itulah, peran dan fungsi pendidikan Islam menjadi amat dibutuhkan. SEbab pendidikan Islam, peratama-tama harus berkonsentrasi pada upaya mendidi manusia agar memiliki etika dan moralitas adiluhung, yaitu moralitas dan etika yang dibangun dan sumber yang adiluhung (Al-Qura’an dan As-Sunnah).
Dengan menggunakan gagasan dan pemikiran Sa’id Hawwa dalam kitabnya “Tarbiyatunar-Ruhiyah”, pendidikan harus mampu menanamkan pengertian-pengertian mendalam tentang Islam, iman, ihsan dan takwa. Menurut Sa’id Hawwa, Islam adalah sebuah system universal yang sempurna, meliputi seluruh persoalan hidup manusia. Di dalamnya terdapat akidah, ibadah, dan syari’ah; ketiganya menjadi landasan penguat Islam. Ia adalah jawaban universal untuk seluruh permasalahan duniawi dan akhirat yang mencakup semua masa dan tempat.
Selain makna itu, Islam juga berarti penyerahan diri (jiwa dan raga) dan perbuatan kepada Allah SWT. Seseorang yang telah menyerahkan hati dan anggota badan dalam semua “taklif”, yang telah dibebankan kepadanya, berarti dia seorang muslim yang sebenarnya. Dengan menyerahkan diri secara total itu, berarti dia memiliki keimanan yang sempurna. Sebab keimanan yang sempurna tiada lain adalah keyakinan dan ketundukan kalbu berikut amal nyata yang dilakukan oleh anggota tubuh sebagai manifestasi dari keyakinannya itu.
Puncak keimanan begitu menurut Hawwa, adalah kemampuan seseorang merasakan sifat-sifat dan perbuatan (af’al) Allah. Puncak keimanan berarti bersemayamnya iman dalam hati seseorang. Inilah yang disebut ihsan, sebagaimana yang didefinisikan Rasulullah saw, yakni: “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu (dapat) melihatnya, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu” (H.R. Muslim).
Hasil interaksi antara Islam, iman, dan ihsan yang menurut Sa’id Hawwa kemudian mewujud menjadi takwa. Dengan kata lain, takwa merupakan kondisi di mana antara kalbu, pikiran dan anggota badan berinteraksi secara harmonis, yang hanya mungkin dicapai oleh orang-orang yang berserah diri, beramal dan berbuat baik.
Pendidikan yang berhasil menanamkan pengertian-pengertian mendalam tentang Islam, iman, ihsan, dan takwa inilah yang akan mampu mengembalikan fitrah manusia, sehingga ia terbebas dasi sifat-sifat yang egois, tak acuh, abai, individualistis, dan tidak pernah peduli terhadap penderitaan masyarakat.

Kejenuhan Sosial Psikologis
Selain krisis etika dan moralitas, kecenderungan materialistic juga mulai menghinggapi masyarakat kita, teruitama sekali dapat kita lihat pada pola-pola hubungan manusia yang hanya didasarkan pada keuntungan-keuntungan yang bersifat materi.
 Kecenderungan materialistic ini pada akhirnya mengantarkan masyarakat kita menjadi konsumen utama dan produk-produk modern, dan terbentuklah masyarakat konsumerisme yang boros dan produktif. Akibatnya, mereka terbius dan terbuai oleh berbagai kenikmatan dan kelezatan modernitas (hedonisme) dan memandang sesuatu hanya berdasarkan pada nilai kegunaan (utilitarianisme).
Ketika masyarakat tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang bersifat materi, manusia dapat kehilangan kendali, sehingga muncul penyakit psiko-sosial seperti stress, terasing, gila, dan lain sebagainya. Pun, ketiaka manusia semakin merasa jenuh dengan segalas sesuatu yang bersifat materialistik, kondisi dan dapat melahirkan perasaan jenuh, bosan dan perasaan kerunduan yang luar biasa atas sesuatu yang non materi.
Problem kemanusiaan ini, sesungguhnya sejak awal telah diantisipasi oleh Islam, sekaligus menawarkan solusi secara mendasar dan menyeluruh. Islam memiliki pandangan yang utuh terhadap manusia. Manusia bukanlah makhluk “materi” semata, melainkan juga makhluk yang terdiri dari fisik-materi, memiliki ruuh, memiliki hati, akal budi, dan jiwa.
Oleh karena itu, mendidik manusia tidak cukup hanya dengan mengembangkan sisi materinya saja, melainkan juga harus mampu mengembangkan potensi-potensi ruhaniah, yang mencakup, akal budi, jiwa, dan hatinya. Dalam pengertian yang lain, pendidikan harus mengembangkan manusia dengan segala keutuhannya (human being as a whole). Pendidikan tidak cukup hanya mengembangkan kualitas akal semata, melainkan juga mengembangkan kualitas segenap daya yang ada dalam diri manusia, yaitu kualitas akal, kualitas kalbu, kualitas akal budi, kualitas jiwa, dan kualitas nafsu.

Pendidikan dan Dakwah Islamiyah
Sebagai sebuah doktrin, umat Islam selalu dituntut untuk selalu menggelorakan dan mengaktualisasikan dakwah Islamiyah. Tuntutan dan tanggung jawab pelaksanaan dakwah Islamiyah ini tidak akan pernah berhenti berkobar di kalangan umat Islam. Dan pendidikan Islam adalah salah satu bentuk pelaksanaan dan aktualisasi Dakwah Islam, sekaligus sebagai bagian dari jihad di jalan Allah.
Dakwah Islamiyah di masa kini dan lebih-lebih masa yang akan datang akan selalu bergelora dan semarak. Karena dakwah Islamiyah tidak hanya dimaksudkan untuk menyebarkan kebenaran-kebenaran Illahi, tetapi juga sebagai salah satu wujud dari kaidah dasar “memelihara agama”. Demi memelihara agama, seorang muslim harus rela  mengorbankan jiwa dan nyawanya. Ia harus rela mati  demi untuk memperjuangkan kebernaran agamanya. Karena mati demi memperjuangkan agama berarti jihad di jalan Allah (al-jihad fi sabilillah). Mereka yang berjihad di jalan Allah itulah yang kelak akan memperoleh derajat tinggi di sisi Tuhannya. “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” (Q.S. At-Taubah:20).
Mereka itu pulalah yang akan memperoleh petunjuk tentang jalan-jalan yang benar. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. Al-‘Ankabut:69).
Sadar bahwa prolematika kemanusiaan yang bakal dihadapi oleh umat manusia di masa mendatang begitu banyak dan komplek, maka pelaksanaan dakwah Islamiyah dituntut semakin efektif, efisien, dan terukur. Dan salah satu bentuk dakwah Islam yang paling efektif. efisien dan terukur adalah proses pengajaran dan pendidikan keagamaan, terutama kepada anak-anak didik.
Dari perspektif tersebut, praktisi pendidikan Islam harus menyadari bahwa aktivitas pendidikan tiada lain merupakan aktivitas ibadah dalam rangka menjalankan kewajiban agama. Sebagai bgian dari aktivitas ibadah, maka kualitas penyelenggaraan pendidiakn juga akan menentukan kualitas ibadah kita kepada Allah SWT.

Masa Depan Pendidikan Islam
Dengan tiga momentum strategis itulah, pendidikan Islam tampaknya memiliki makna dan arti yang amat strategis. Makna strategis pendidikan Islam ini berawal dari keyakinan  bahwa  Islam merupakan tata moral dan spiritual universal yang disempurnakan dan satu-satunya alternative dan menjadi solusi akhir. Krisis moral, penyakit-penyakit psiko-sosial yang secara serius akan dihadapi ummat manusia di masa mendatang, tampaknya hanya dapat dipecahkan melalui pelaksanaan pendidikan Islam yang efektif, efisien dan berkelanjutan. Sebab, ajaran Islam tidak hanya menawarkan berbagai aturan formal ritus keberagamaan, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai (values  loaded) nan luhur yang pasti amat sesuai dengan kebutuhan ummat manusia.
Kita berkewajiban dan menanggung beban tanggung jawab social dan bahkan misi universal untuk memperbaiki akhlak, memerangi kejahatan dan berusaha merebut kemenangan demi ummat manusia, demi keadilan dan kebaikan. Lebih-lebih kita juga menyadari bahwa masyarakat muslim cukup kaya dengan peradaban, kreatifitas intelektual, kemuliaan akhlak, tradisi ilmiah dan artistic, keharmonisan, dan kemenangan. Kebudayaan Islam penuh dengan sumber-sumber moral, spiritual, idealistic, paemberi kehidupan, pelahir-gerakan konstruktif dan memberi penerangan. Islam adalah samudera yang mengandung gelombang-gelombang dahsyatnya kekuatan yang logis, estetik dan sentimental yang memberikan sumbangan kepada kesucian jiwa dan kesempurnaan moralitas serta kepekaan insane. Pendeknya, peradaan Islam memberikan kepada manusia kesdaran diri, kemandirian, kepribadian, kemurah-hatian dan daya insani (human power).
Dengan kepercayaan bahwa Islam adalah keyakinan yang memuat kebenaran-kebenaran tak terabantahkan, maka peradaban Islam pada intinya  bersumber dari kebenaran-kebenaran itu, terutama menjadikan tauhid beserta nilai-nilai strategisnya sebagai titik sentral semua aktifitas. Dengan menjadikan tauhid sebagai sentral aktifitas, maka segala aktifitas manusia, termasuk aktifitas pendidikan, selalu merujuk dan berpusat pada doktrin tauhid tersebut.
Keagungan ajaran Islam beserta warisan dari khazanah intelektual dan khazanah peradaban muslim itulah yang mesti harus ditanamkan dan diinternalisasikan kepada ummat manusia, terutama anak didik kita, sehingga berbagai problem kemanusiaan di masa kini dan masa mendatang dapat dipecahkan. Upaya penanaman dan internalisasi nilai-nilai ajaran Islam beserta khazanahnya itu hanya mungkin dilakukan bila pendidikan Islam tetap eksis, berkembang dan maju.
Menyadari betapa pentingnya pendidikan Islam, baik secara institusional maupun fungsional, maka perjuangan dan usaha-usaha untuk memajukan pendidikan Islam menjadi tugas suci kita semua, terutama para praktisi pendidikan Islam.

Ranah Indah Nyiur Melambai, Darussalam 2002

(Disadur dari Media Pembinaan No. 02/XXIX Mei 2002)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda